Jumat, 09 Mei 2008

Mandikan Aku Bunda...

"JANGAN PERNAH menahan/menunda menyampaikan kasih sayang kepada setiap orang yang kita cintai....."
Rasanya itulah pesan kuat yang dikandung dalam kisah di bawah ini.

Entah siapa yang pertama kali menuliskan kisah ini, nyata atau rekaan, tapi itu tidaklah penting. Yang terpenting adalah makna yang terkandung didalamnya.
Subhanallah..... sungguh sangat menyentuh.....

Semoga 4jji SWT memberikan kemuliaan pada orang yang telah menuliskan kisah ini.
Semoga 4jji SWT memberikan kekuatan bagi "Rini", sang Ibu, tentulah banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini, terlepas dari nyata atau tidak. Juga bagi Alif, tentu akan mendapat tempat mulia di sisiNya, dan untuk Sang Ayah dan Bunda semoga segera diberikan Alif-Alif yang lain.

Amiin.


Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai
akhirnya Rani, sebut saja begitu namanya.
Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi.
Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya
sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi
yang akan digelutinya.
''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan
presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional
di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya.
Saya lebih memilih menuntaskan
pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama
berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD.
Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil
dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'',
jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa
mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan
Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari
satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil
untuk ditinggal-tinggal? ''
Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala
sesuatunya.
Everything is OK!'' Ucapannya itu
betul-betul ia buktikan.
Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh
baby sitter mahal.
Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh
menjadi anak yang tampak lincah, cerdas
dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang
itu,tentang kehebatan ibu-bapaknya.
Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang
yang banyak.
''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu
nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali
menagih pengertian anaknya.
Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik
buat Alif.
Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya.
Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif,
tampaknya
mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek.
Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh
ceria.
Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya
super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta.
Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif
menolak dimandikan baby sitter.
''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap.
Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat
diperhitungkan, gusar.
Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan
mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif
agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.
''Bunda, mandikan
aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan.
Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam
masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian.
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.
''Bu, kami ke dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di
Emergency.''
Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Tuhan
sudah punya rencana lain.
Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya.
Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya.
Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan
komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil
terbaring kaku.
''Ini Bunda Lif, Bunda
mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah
jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari
sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung di sisi pusara.
Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah
takdir, ya kan.
Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah
saatnya, ya dia pergi juga kan?''
Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya
mematung seperti tak bernyawa.
Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,''
lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas
tergugu hebat.
Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih
tangisan yang meledak.
''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan
Alif.
Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani
merintih mengiba-iba.
Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya.
Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif.
Senja pun makin tua.

Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan
kehilangan yang amat sangat.

Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya.
Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.

Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang.
Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

Semoga yang membacanya bisa mengambil makna yang terkandung dalam kisah tsb.

Sumber: http://kaptenvu.blogspot.com/

0 komentar: